Sejarah Arab Melayu dari Masa ke Masa

Sejarah Arab Melayu dari Masa ke Masa

Arab Melayu adalah aksara utama dalam penyebaran bahasa Melayu ke seluruh wilayah nusantara; yang penggunaannya dimulai seiring dengan kedatangan agama Islam ke kepulauan Melayu ini. Disebut Arab Melayu, karena merupakan huruf-huruf Arab yang sengaja digubah untuk mewakili bunyi bahasa Melayu. Seni penulisan ini juga dikenal dengan nama Jawi, Jawoe, Kawung; dan untuk tulisan Arab Melayu yang berbahasa Jawa disebut Pegon. Walau apapun sebutannya pada tiap wilayah, dalam tulisan ini hanya akan disebut dengan nama Arab Melayu saja.

Penggunaan lambang huruf Arab Melayu tidak hanya terjadi antar sesama bangsa Melayu, namun juga dengan bangsa lainnya, khususnya Eropah. Penulisan Arab Melayu antara bangsa ini meliputi perjanjian dagang, surat-menyurat antar raja-raja Melayu dengan pemerintah Eropah, dan lain sebagainya.

Arab Melayu tidak hanya didominasi oleh Islam. Banyak produk obat dan makanan asal Eropah dan Cina yang juga menggunakan Arab Melayu dalam kemasan produknya. Seakan-akan aksara ini menjadi labelisasi halal pada masa itu.

Kewajiban qiraah al-Qur’an bagi umat Islam, memuluskan pula upaya penyebaran aksara dan bahasa Melayu di nusantara. Di masa lampau, ketika seseorang dapat membaca al-Qur’an, sudah dipastikan dapat pula membaca aksara Arab Melayu. Dan ketika sudah menguasai dan fasih berbahasa Arab, secara otomatis akan mampu menulis aksara Arab Melayu dengan baik.

Keberadaan Arab Melayu yang terekam ke dalam berbagai bahan bacaan sejak semula digunakan hingga akhir abad ke-20 Masehi, masih terasa denyut perkembangannya. Para Ulama di nusantara banyak yang telah menerjemahkan berbagai kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu. Sastrawan dan pujangga Melayu juga turut serta membubuhkan karya dengan Arab Melayu hingga menyebar ke seluruh kawasan Asia Tenggara.




1. Upaya Pembakuan Kaidah

PENGGUNAAN aksara Arab Melayu kemudian merambah pada bahasa persuratan, pengalihan sastra lisan menjadi tulisan hingga penulisan cerita dan hikayat. Hal ini melahirkan pujangga-pujangga hebat yang menelurkan karya-karya bermutu. Namun kemunculan pujangga-pujangga amatir juga tak dapat dihindari, yang pada abad ke-16 Masehi sudah tersebar puluhan ribu karya amatir di berbagai wilayah. Amatir dalam arti tidak menguasai ilmu bahasa dan ilmu menulis, sehingga bahasa yang digunakan adalah kacukan dan aksara yang dituliskan tidak menerapkan kaidah yang sudah baku dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu saat itu.

Menyadari kekacauan yang terjadi, secara mandiri Abdullah bin Adul Qadir al-Munsyi, memulai upaya pembakuan kaidah pada tahun 1820-an di Singapura. Setiap buku pujangga amatir yang diketahui sumber alamatnya, beliau kirimkan revisi aksara disertai bahasa yang baku. Kemudian pada 1840-an, beliau dipercaya pemerintah Hindia Nederland untuk menerjemahkan al-Kitab bagi kepentingan missionaris Kristen Eropah dengan menggunakan bahasa dan aksara Melayu yang baku. Pekerjaan ini beliau terima semata-mata untuk memperbaiki dan memperlurus bahasa Melayu yang sudah kacau oleh bahasa kacukan. Upaya sensor bahasa ini tetap beliau lakukan hingga wafat di Mekah pada Oktober 1854.

Kemudian pada 1840-an di Penyengat, Raja Ali Haji juga mengu- payakan sensor bahasa sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Abdul Qadir al-Munsyi. Tapi beliau tidak sendirian. Upaya ini di- kerjakan bersama Herman Von de Wall, Residen Riau di Tanjung Pinang. Von de Wall membawakan kitab-kitab baru dari Betawi dan memberikannya kepada Raja Ali Haji untuk diperbaiki bahasa dan aksaranya. Kerjasama sahabat karib ini berlanjut pada karya agung dalam ilmu bahasa, yakni Kitab Pengetahuan Bahasa, Bustaan al-Kaatibiin, Kamus Melayu Nederland Indiche, dan lain sebagainya.

Upaya pembakuan kaidah Arab Melayu juga dilakukan oleh Tan Sri Zainal Abidin bin Ahmad (Za’ba) pada 1940-an hingga 1973. Keseriusan Za’ba dalam kebahasaan dan aksara, membuat beliau disebut juga dengan Pandita Melayu. Puncak karya beliau adalah Kaidah Huruf Jawi untuk keperluan Madrasah di Malaysia dan Singapura, yang dikenal dengan Kaidah Za’ba.

Selanjutnya pada 1984 di Melaka, dilakukan Konvensyen Jawi untuk melengkapi apa yang tidak tertulis oleh Za’ba. Namun pada 1986, hasil Konvensyen 1984 ini dibantah oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia. DBP menyatakan bahwa hasil konvensyen itu bukanlah sistem ejaan Jawi yang benar dan bahkan sama sekali menyimpang dari ejaan yang disusun Za’ba. Lalu DBP mengeluar- kan Ejaan Jawi Yang Disempurnakan (EJYD) dengan penambahan huruf V (huruf waw bertitik 1 di atas) yang disifatkan sebagai penyempurna sistem ejaan lama.

Namun menurut Hassan Junus, pada Mei 2007 di Pekanbaru, bahwa hakikat penggunaan dan peran aksara Arab Melayu adalah untuk melambangkan bunyi; bukan untuk menerjemahkan huruf. Maka penambahan huruf V sama sekali tidak diperlukan, sama halnya dengan penambahan huruf X.

Menurut penulis, bahwa penyusunan Kaidah Arab Melayu, dahu- lunya dilakukan oleh para ahli bahasa Melayu yang juga ahli dalam bahasa Arab. Setiap peran, fungsi dan kedudukan huruf Arab dikaji terlebih dahulu sebelum kehendak bahasa Melayu diperturut. Setiap kata yang berasal dari bahasa Arab, terutama yang berhubung-kait dengan istilah syari’at agama, harus ditulis mengikut kaidah Arab. Dan semua pembakuan di atas perlu dijadikan rujukan, karena saling melengkapi, untuk menentukan cara tulis-baca pada masa kini.


2. Upaya Menghilangkan Arab Melayu

Masalah yang terjadi mengenai Arab Melayu dari dahulu hingga sekarang adalah ketidak-beraturannya bentuk penulisan  pada kata. Jangankan oleh penulis yang berbeda, bahkan dari penulis yang sama, pada buku yang sama dan di lembar halaman yang sama pun kasus itu tetap saja terjadi.

Contohnya di dalam surat Raja Ali Haji yang ditujukan pada Gubernur Belanda waktu itu; di bahagian atas ditulis (كڤاد) untuk ‘kepada’; namun pada bagian lain ditulis dengan (كڤـد). Hal yang sama juga terjadi pada Babul Qawa’id cetakan Kerajaan Siak tahun 1891. Pada halaman awal akan kita temukan tulisan (تعلوق) untuk ‘takluk’’; namun pada halaman lain akan kita temukan (تعلؤ). Artinya, konsistensi penulisan lambang bunyi huruf Arab Melayu belum baku di alam Melayu.

Kasus inilah yang dijadikan alasan utama oleh orientalis dan komunis yang ada di nusantara dengan mengatakan bahwa Arab Melayu tak layak untuk menjadi tulisan bangsa Melayu karena penulisannya tidak pernah konsisten hingga kerap kali terjadinya salah baca yang dapat menimbulkan salah persepsi.

Sejak pendapat itu keluar, dimulai lah upaya kaum anti Islam untuk mengikis perusahaan cetak dan penerbitan buku Arab Melayu. Namun upaya yang dilakukan sejak masa penjajahan Eropa hingga Jepang, tak mengikis Arab Melayu, meski pun banyak orang yang mempelajari bahasa dan aksara mereka. Hal ini disebabkan nilai patriotisme yang dikandung Arab Melayu, sehingga penggunaannya dianggap perlawanan terhadap penjajah. Bahkan Arab Melayu menjadi standarisasi produk obat dan makanan buatan Cina; yang jika tidak dibubuhi dengan Arab Melayu, rasanya tak layak untuk digunakan oleh bangsa Melayu.


3. Kemunduran Arab Melayu

Revolusi Turki pada tahun 1924 yang diusung Kamal Pasha Attaturk, terjadi karena dorongan negara-negara Eropa yang hendak merebut kembali Konstantinopel dari Turki Utsmani yang pemerintah dan pasukan perangnya telah mulai lemah. Kenyataan ini membuat jiwa patriotisme Kamal Pasha Attaturk terpanggil dan mendorong dirinya untuk membela negara.

Namun seiring perjalanan masa, gerakan ini merembes pada hal berbau SARA. Segala hal yang berbau Arab (yang dianggap sebagai simbol Islam) harus dihilangkan; termasuk adzan yang harus dilantunkan dengan bahasa Turki. Hal ini tidak mengherankan karena adanya boncengan serta dukungan zionis dan komunis internasional dalam gerakannya itu. Tulisan Arab Turki pun diganti dengan huruf latin, dengan melakukan adaptasi dan penambahan lambang pada tiap huruf.

Pengikisan simbol Keislaman oleh Kamal Pasha Attaturk tersebut menjadi angin segar bagi Dr. Pardjono; seorang intelektual PKI; yang mendorong dan mendukung sepenuhnya pelaksanaan Kongres Bahasa di Singapura dan Medan pada tahun 1950-an, yang mengeluarkan resolusi agar tulisan latin menjadi tulisan kebangsaan Melayu. Selanjutnya dibentuklah Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia yang mempelopori aksara latin di semenanjung Melayu. Sejak saat itu, sebagian besar penerbit diharuskan bahkan wajib beralih ke tulisan latin.

Mulai 1960-an, Arab Melayu akhirnya benar-benar terpinggirkan. Setiap orang dituntut harus mampu membaca latin. Semua kitab pelajaran pada sekolah pribumi hingga madrasah mulai dirambah oleh tulisan latin. Ditambah lagi pada tahun 1980-an, keberadaan tulisan Arab Melayu secara nasional seakan ‘dijajah’ oleh adanya upaya pemberantasan buta huruf. Orang-orang tua kita dinista karena tidak dapat tulis-baca huruf latin dan dicap sebagai buta huruf, meskipun mereka mampu tulis-baca aksara Arab Melayu. Sementara bagi mereka yang mampu tulis-baca latin, walaupun tidak tahu tulis-baca Arab Melayu, tidak mendapat penistaan ‘buta huruf’. Akibatnya, generasi Melayu yang lahir di atas tahun 1970-an banyak yang buta aksara Arab Melayu bahkan tidak mampu membaca al-Quran.

Masalah yang timbul kemudian, bahwa penggunaan tulisan latin malah semakin mengikis perbendaharaan kata dalam bahasa Melayu. Banyak kata-kata dalam bahasa Melayu yang berganti dengan kata dan istilah asing (Eropa). Bukan untuk menambah perbendaharaan kata, melainkan hanya untuk menindas bahasa yang sudah ada. Akhirnya pada masa kini, seorang pembicara tidak merasa cerdas kalau tidak mengungkapkan bahasa dan istilah asing. Bahkan UUD 1945 hasil amandemen sekarang ini telah 30% dibubuhi dengan bahasa dan istilah asing yang sangat tidak akrab di telinga.

Jika terus dibiarkan, disinyalir 50 tahun mendatang kosa kata Melayu di dalam bahasa Melayu tinggal 10% saja. Lalu beberapa tahun setelahnya, bahasa Melayu pun akan punah. Hingga pada akhirnya nanti anak turunan jati Melayu akan terpaksa harus melihat kamus terlebih dahulu untuk memahami dan menerjemahkan “Takkan Melayu Hilang di Bumi”.


4. Kebangkitan Arab Melayu

Semangat patriotisme yang terkandung dalam Arab Melayu ti- dak hanya terjadi pada zaman penjajahan saja. Pada tahun 1990-an di Pekanbaru, GP Ade Darmawi dkk memulai upaya mandiri untuk menerapkan Arab Melayu pada media umum. Hal ini terinspirasi dari pembubuhan nama jalan dan kantor di Jawa yang telah menggu- nakan huruf Hanacaraka.

Merekalah yang mempelopori pembuatan nama jalan beraksara Arab Melayu di Riau. Hanya bermodal papan triplek berikatkan kawat di bawah plang nama jalan-jalan protokol yang permanen, mereka memasangnya di tengah malam, karena khawatir menyebab- kan macet bila dilakukan pada jam-jam aktifitas warga. Melihat ini esok harinya, masyarakat sangat mendukung dan amat bangga. Na- mun beberapa pejabat saat itu merasa gusar dan menilai upaya yang dilakukan ini sebagai langkah yang subversif.

Kemudian pada tahun 2002, Barisan Muda Melayu Riau mem- buat inovasi baru di Pekanbaru. Dalam kegiatan Rapat Kerja Pimpi- nan internal organisasi itu, dipasangkan backdrop yang semuanya bertulisan Arab Melayu. Hal ini mendapat apresiasi yang luar biasa dari Bupati dan Walikota se Riau, yang merasa terpanggil semangatnya, untuk kemudian secara serentak mengubah papan nama kantor masing-masing dengan aksara Arab Melayu.

Langkah selanjutnya di Lembaga Adat Melayu Riau, mulai 2012 sudah memperkenalkan format undangan, sertifikat dan backdrop acara dengan 2 aksara, yakni Latin dan Arab Melayu. Langkah ini juga mendapat apresiasi dari berbagai khalayak, di tingkat lokal Riau, nasional dan internasional, khususnya negara-negara ASEAN.

Kebijakan Otonomi Daerah telah memberi tempat istimewa bagi Arab Melayu. Semangat untuk membangkitkannya kembali secara sadar diwujudkan di berbagai media hingga ke sekolah-sekolah dan kantor pemerintah. Tak ubahnya di Riau, Arab Melayu pun sempat dijadikan sebagai Mata Pelajaran Muatan Lokal Wajib di tingkat SD dan SMP. Hal demikian tentu saja menuntut keberadaan buku-buku pelajaran dan media pendukungnya. Namun ironinya jumlah kepustakaan Arab Melayu sangat langka. Proyek yang ada selama ini hanya terpusat pada pelestarian Arab Melayu dalam bentuk pelajaran. Tidak ada upaya pelestariannya agar mempopulerkan lagi Arab Melayu melalui usaha komputerisasi teks secara lengkap.

Api semangat itu mendapat bahan bakar baru pada tahun 2006 di Pekanbaru, diperkenalkan sofware penulisan Arab Melayu untuk berbagai program di komputer. Banyak pihak yang merasa terbantu dengan penemuan ini, terutama di lingkungan pendidikan.

Arab Melayu adalah identitas asli Riau dan Kepulauan Riau, yang notabene sebagai pusat dan asal-muasal lahirnya Bahasa Indonesia. Penggunaan Arab Melayu bukanlah suatu doktrin yang dipaksakan, melainkan ialah untuk melestarikan dan mempertahankan khazanah Riau yang sebenarnya, yang telah mempersatukan Indonesia dalam satu bahasa. Dia bukan legenda yang hanya tinggal kenangan, melainkan adalah kebanggaan bangsa yang sebenarnya. Dia bukan pula sebuah tradisi kuno, karena dia masih bisa mencerdaskan kita dalam berbahasa dan memaknai bahasa itu sendiri.

Riau sudah menjadi rujukan. Ketika berbicara mengenai adat Melayu, rujukannya adalah adat Melayu Riau. Ketika bicara tentang busana Melayu, rujukannya adalah busana Melayu Riau. Ketika berbicara mengenai pantun Melayu, rujukannya adalah pantun Melayu Riau. Satu hal lagi yang perlu diwujudkan, yakni ketika bicara tentang aksara Arab Melayu, rujukannya adalah aksara Arab Melayu yang berkembang di Riau. Impian ini akan dapat mewujud ketika konten pembelajaran Arab Melayu sudah ramah dengan teknologi modern. Meskipun saat ini hanya menjadi sub bahasan dalam pelajaran muatan lokal Budaya Melayu Riau, hendaknya pembahasan mengenai kaidah bukan lagi menjadi topik utama.


Apabila tulisan ini bermanfaat, silahkan berbagi (share) kepada yang lain!

Posting Komentar

1 Komentar

Silahkan tulis kritik, saran dan komentar Anda