Inilah Makna Melayu Menurut Orang Melayu

Makna Melayu Menurut Orang Melayu


Menurut Hasan Junus, setidaknya terdapat tiga kemungkinan asal usul penyebutan nama Riau. Pertama, toponomi Riau berasal dari penamaan orang Portugis yakni rio yang berarti sungai. Kedua, tokoh “Sinbad al-Bahar” dalam kitab Alfu Laila wa Laila menyebut “riahi” untuk suatu tempat di Pulau Bintan, seperti yang pernah dikemukakan oleh almarhum Oemar Amin Hoesin dalam pidatonya ketika Provinsi Riau terbentuk. Ketiga, diambil dari kata “rioh” atau “riuh” yang berarti hiruk-pikuk, ramai orang bekerja. Dari ketiga kemungkinan di atas, kata rioh atau riuh merupakan hal yang paling mendasar bagi penyebutan nama Riau.

Setelah imperium Sriwijaya yang pernah bertapak di Riau runtuh pada abad ke-7, kekuasaan Melayu berada dalam imperium Melaka yang berpusat di semenanjung, yang akhirnya dikalahkan Portugis pada tahun 1511. Federasi budaya, politik, dan ekonomi Melayu kembali direbut bersama-sama Riau-Lingga. Pada masanya menjadi kekuatan penyangga kesinambungan kekuasaan Melayu yang berturut-turut berpusat di Johor, Riau, dan Lingga. Di tengah-tengah keluasan pengaruh kolonial Belanda dan Inggris di alam Melayu, pada abad ke-18 sampai pertengahan abad ke-20, Kerajaan Siak tampil sebagai pusat pewarisan kejayaan Melaka bersama Kerajaan Riau-Lingga dan daerah takluknya (di Kepulauan Riau).

Dengan entitas kebudayaan yang beragam, Riau diyakini sebagai tanah air kebudayaan Melayu. Anggapan itu pula didukung oleh berbagai fakta kesejarahan. Di kawasan ini sampai sekarang hidup sejumlah masyarakat asli (Sakai, Bonai, Akit, Hutan, Petalangan, Talang Mamak, Suku Laut, dll.). Selain itu, masyarakat adat (kedatuan) seperti Rantau nan Kurang Oso Duo Puluo di Kuantan, masyarakat Limo Koto dan Tigo Boleh Koto di Kampar. Ada pula masyarakat wilayah kerajaan di Kandis, Keritang, Inderagiri, Sintong, Kunto Darussalam, Gasib, Siak, Pelalawan, Gunungsahilan, dan beberapa kerajaan lainnya. Perbancuhan kedatuan dan kerajaan atau kesultanan terdapat di lima luhak di Rokan, Tiga Lorong, dan negeri-negeri di sungai Tapung. Sejumlah peninggalan sejarah (candi dan artefak lainnya) yang ditemukan memberi petunjuk pula tentang kewujudan kebudayaan dan peradaban kuno di kawasan ini, mulai dari pra-sejarah hingga ke periode Hindu dan Budha.

Di lingkungan masyarakat adat, dan masyarakat beraja-raja, wujud kebudayaan Melayu dipelihara menjadi patokan kehidupan sosial. Dasar kebudayaannya adalah Islam yang penyebarannya bermula dari elite perbandaran (kota pelabuahan) dan perdagangan, kemudian memengaruhi perubahan-perubahan penting dalam kebudayaan tempatan. Lebih dari yang lainnya, Islam secara historis bahkan menjadi inti dari dinamika kebudayaan Melayu tersebut. Pada peringkat gagasan, nilai, norma, hukum, dan aturan sosial, misalnya, Islam merasuk sedemikian rupa menjadi kriteria penapis sendi-sendi kehidupan sosial, sebagaimana tergambar dari pernyataan: adat bersendi syarak dan syarak bersendi Kitabullah (Al-Quran). Sedangkan dalam karya dan praktik budaya, Islam memperkenalkan tulisan (huruf Arab) yang menyuburkan budaya tulis-baca (beraksara), yang kelak dianggap sebagai bagian utama dari prestasi puncak kebudayaan dan peradaban Melayu di Riau.




Riau dalam Peta Dunia dan Indonesia

Sejarah panjang perkembangan dan pencapaian kebudayaan Melayu di rantau ini berhubungan dengan letak Riau sebagai frontier area di lingkungan dinamika perdagangan dunia Selat Melaka. Riau juga dipetakan sebagai kawasan sumber daya alam yang sangat kaya dengan komoditas ekonomi dunia, sehingga selama berabad-abad menjadi tujuan pendatang. Interaksi dengan pendatang mempengaruhi perkembangan peradaban dan kebudayaan di rantau ini, di samping Islam. Interaksi Riau dengan dunia luar dan pendatang ini, dalam konteks praksis sosial dan budaya materi misalnya, telah membiasakan orang Melayu dengan berbagai teknologi perairan dan pertanian.

Keunggulan sumber daya alam dan letak strategis Riau, bersama kekuasaan politik bentuk kerajaan, itu pula yang kelak menyebabkan kebudayaan Melayu mengalami goncangan-goncangan dalam sejarah kontemporer. Dalam gambaran ringkas di atas, meski Riau juga dilanda kolonisasi, jangkauan kuasa politik kolonial Belanda tidak mampu menjangkau inti kedaulatan kebudayaan Melayu tersebut. Alam dan peta bumi Riau tetap merupakan bagian dari kedaulatan kebudayaan, yang berpusat pada masyarakat adat dan raja-raja.

Pusat kedaulatan Riau kemudian dipecahkan oleh apa yang dalam sejarah Indonesia disebut sebagai gerakan nasionalisme, yang dari perspektif sejarah kebudayaan Melayu di Riau antara lain mewujud dalam bentuk penghapusan kekuasaan berajanya. Di masa Orde Baru, negara menerapkan kebijakan kebudayaan nasional yang kriterianya tidak mengakomodir hakikat kemajemukan budaya nusantara. Dalam struktur administrasi pemerintahan misalnya, peranan pemerintahan “tali berpilin tiga” yang merupakan ciri pemerintahan Melayu pada struktur terbawah digantikan oleh pemerintahan tunggal kepala desa. Akibatnya, pemimpin agama (ulama) dan pemangku adat serta cendekiawan (sebagai pusat-pusat rujukan kebudayaan) kehilangan perannya, dan kehidupan keagamaan serta kebudayaan tersisih.

Seiring dengan itu, penerapan kebijakan ekonomi kapitalistik, berbagi sumber daya alam berdampak pada menyempitnya ruang hidup kebudayaan dengan eksploitasi hutan-tanah besar-besaran di Riau. Selain merusak ‘sarang’ berbagai ekspresi budaya Melayu, akselerasi kapitalisme itu juga memicu dan memacu perubahan orientasi ekonomi menuju ekonomi pasar atau uang, serta menggerus kepercayaan sosial pendukung kebudayaan Melayu pada nilai-nilai luhur kebudayaan mereka. Perkembangan budaya global yang masuk melalui media bersama dengan perubahan orientasi ekonomi, yang pada gilirannya mendorong perkembangan budaya konsumtif yang hedonis.


Kembali ke Puncak

Pada tahun 2001, pemerintah dan masyarakat Provinsi Riau mengambil keputusan politik tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Riau dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 36 Tahun 2001. Didalamnya termaktub Visi Riau 2020. Visi tersebut berbunyi: “Terwujudnya Riau sebagai pusat perekonomian dan kebudayaan Melayu di lingkungan masyarakat yang agamis sejahtera lahir batin di Asia Tenggara pada tahun 2020”. Berdasarkan kalimat Visi Riau 2020, subyek utama yang ingin dicapai dari setiap aktivitas pembangunan di Riau adalah Riau sebagai pusat perekonomian dan pusat kebudayaan Melayu dengan bentangan ruang (locus) Asia Tenggara.

Dari paparan visi Riau tahun 2020 itu, posisi Riau pada masa depan meniscayakan Riau sebagai pusat dalam bidang pemeliharaan, aktivitas, dan kreativitas, serta even-even pembentangan penyebaran nilai-nilai dan produk-produk budaya Melayu dengan rentang kawasan nusantara (Asia Tenggara). Riau sebagai pusat budaya Melayu adalah bahwa Riau merupakan tempat pemeliharaan berkesinambungan, nilai-nilai sekaligus aktivitas produksi budaya Melayu, baik warisan/tradisional maupun budaya modern.

Ini merupakan jalan bagi Riau untuk penguatan dan pengembangan budaya Melayu. Riau kembali akan menjadikan pusat kebudayaan Melayu dengan budaya dan seni Melayu yang diperkuat dan berkembang secara sistemik dan dinamis. Budaya dan seni akan semakin berkembang dan maju dengan didukung oleh lingkungan pendidikan formal.





Melayu dan Melayu Riau

Istilah Melayu berasal dari kata mala (yang berarti mula) dan yu (yang berarti negeri) seperti dinisbahkan kepada kata Ganggayu yang berarti negeri Gangga. Pendapat ini bisa dihubungkan dengan cerita rakyat Melayu yang paling luas dikenal, yaitu cerita Si Kelambai atau Sang Kelambai. Cerita ini mengisahkan berbagai negeri, patung, gua, dan ukiran dan sebagainya, yang dihuni atau disentuh oleh Si Kelambai, semuanya akan mendapat keajaiban. Ini memberi petunjuk bahwa negeri yang mula-mula dihuni orang Melayu pada zaman purba itu, telah mempunyai peradaban yang cukup tinggi. Kemudian kata melayu atau melayur dalam bahasa Tamil berarti tanah tinggi atau bukit, di samping kata malay yang berarti hujan. Ini bersesuaian dengan negeri-negeri orang Melayu pada awalnya terletak pada perbukitan, seperti tersebut dalam Sejarah Melayu, Bukit Siguntang Mahameru.

Negeri ini dikenal sebagai negeri yang banyak mendapat hujan, karena terletak antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Selanjutnya dalam bahasa Jawa, kata melayu berarti lari atau berjalan cepat. Lalu, dikenal pula ada sungai Melayu, di antaranya dekat Johor dan Bangkahulu. Semua istilah dan perkataan itu dapat dirangkumkan sehingga melayu dapat diartikan sebagai suatu negeri yang mula-mula didiami, dan dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu. Mereka membuat negeri di atas bukit, karena ada pencairan es Kutub Utara yang menyebabkan sejumlah daratan atau pulau yang rendah jadi terendam air. Banjir dari es Kutub Utara itu lebih terkenal dengan banjir atau topan Nabi Nuh. Untuk menghindari banjir itu mereka berlarian mencari tempat yang tinggi (bukit) lalu disitulah mereka membuat negeri.

Istilah melayu baru dikenal sekitar tahun 644 Masehi, melalui tulisan Cina yang menyebutkan dengan kata Mo-lo-yeu. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Cina, membawa barang hasil bumi untuk dipersembahkan kepada kaisar Cina. Jadi, kata melayu menjadi nama sebuah kerajaan dewasa itu. Namun demikian, kerajaan Melayu sudah ada sejak satu milenium pertama sebelum Masehi yang dibuktikan gerabah keramik di Barus di tengah Pulau Sumatera. Nenek moyang orang Melayu itu ternyata juga beragam, baik asalnya yang mungkin dari suku Dravida di India, mungkin juga Mongolia atau campuran Dravida dengan Aria yang kemudian kawin dengan ras Mongolia. Kedatangan mereka juga bergelombang ke Nusantara ini.

Bangsa Melayu sendiri dapat dibedakan atas beberapa kategori atau ketentuan. Pertama, Melayu Tua (proto Melayu) dengan Melayu Muda (deutro Melayu). Disebut Melayu tua karena inilah gelombang perantau Melayu pertama yang datang ke kepulauan Melayu ini. Leluhur Melayu Tua ini diperkirakan datang oleh para ahli arkeologi dan sejarah sekitar tahun 3000-2500 SM. Adapun yang tergolong ke dalam keturunan Melayu Tua itu antara lain orang Talang Mamak, orang Sakai, dan Suku Laut.

Keturunan Melayu tua ini terkesan amat tradisional, karena mereka amat teguh memegang adat dan tradisinya. Pemegang teraju adat seperti Patih, Batin, dan Datuk Kaya, besar sekali peranannya dalam mengatur lalu lintas kehidupan. Sementara itu, alam pikiran yang masih sederhana dan kehidupan yang sangat ditentukan oleh faktor alam, telah menyebabkan munculnya tokoh tradisi seperti dukun, bomo, pawang, dan kemantan. Para tokoh ini diharapkan dapat membuat hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Mereka mempercayai laut, tanjung, tanah, pohon, ikan, burung, dan binatang liar, dihuni atau dikawal oleh makbluk halus, yang kemampuannya melebihi kemampuan manusia. Makhluk halus yang menunggu tanah disebut jembalang, makhluk yang mengawal binatang dan burung disebut sikodi, makhluk halus yang menghuni hutan belantara disebut mambang, sedangkan makhluk halus yang menampakkan dirinya sebagai perempuan cantik disebut peri.
Perkampungan puak Melayu Tua pada masa dulu jauh terpencil dari perkampungan Melayu Muda. Ini mungkin berlaku, karena mereka ingin menjaga kelestarian adat dan resam (tradisi) mereka. Begitu pula dalam nikah-kawin, mereka masih sedikit berbaur dengan Melayu Muda dan suku lainnya. Pembauran dengan Melayu Muda baru terjadi setelah mereka memeluk agama Islam sebagaimana yang terjadi pada Sakai Batin Salapan dan Batin Lima, yang diislamkan oleh para khalifah murid Tuan Guru Abdul Wahab Rokan penganut tarekat Naksabandiyah.

Puak Melayu Muda (Deutro Melayu), gelombang kedatangan nenek moyang mereka diperkirakan tiba antara 300-250 tahun sebelum Masehi. Melayu Muda ini cukup besar jumlahnya. Mereka lebih suka mendiami daerah pantai yang ramai disinggahi perantau dan daerah aliran sungai-sungai besar yang menjadi lalu lintas perdagangan. Karena itu mereka bersifat lebih terbuka dari Melayu Tua, sehingga mudah terjadi nikah-kawin dengan puak atau suku lain, yang membuka peluang pula kepada penyerapan nilai-nilai budaya dari luar.

Pada mulanya, baik Melayu tua maupun Melayu muda sama-sama memegang kepercayaan nenek moyang yang disebut Animisme (semua benda punya roh) dan Dinamisme (semua benda mempunyai semangat). Kepercayaan ini kemudian semakin kental oleh kehadiran ajaran Hindu-Budha. Sebab antara kedua kepercayaan ini hampir tidak ada beda yang mendasar. Keduanya sama-sama berakar pada alam pikiran leluhur, yang kemudian mereka beri muatan mitos, sehingga bermuatan spiritual.

Maka, setelah tiba kehadiran agama Islam, terutama di daerah pesisir pantai serta daerah aliran sungai-sungai besar di Riau, ternyata puak Melayu muda lebih suka memeluk agama baru yang rasional itu. Kedatangan agama Islam itu telah membangkitkan semangat bermasyarakat yang lebih kuat dan kokoh, sehingga berdirilah beberapa kerajaan Melayu dengan dasar Islam, seperti telah disebutkan pada bagian depan. Maka puak Melayu di Riau terbagi atas kerajaan Melayu yang menaunginya sehingga dikenallah beberapa puak atau masyarakat Melayu di daerah ini.

Pemegang teraju, kepemimpinan Melayu, baik Melayu tua maupun Melayu muda semula juga terdiri dari pemangku adat (sebagai pemimpin formal) di samping tokoh tradisi seperti dukun, bomo, pawang, kemantan, dan guru silat, sebagai pemimpin informal. Tetapi setelah Melayu muda membentuk beberapa kerajaan Melayu dengan dasar Islam, maka muncullah pemegang kendali kerajaan yang disebut raja, sultan serta yang dipertuan. Sementara itu, kehadiran Islam juga telah menampilkan cendekiawan yang disebut ulama. Di Riau, untuk ulama itu sering dipakai kata orang siak, lebai, malin, tuan guru, dan pakih. Dengan demikian kehidupan Melayu muda ini dipandu oleh para raja (sultan), ulama, pemangku adat dan tokoh tradisi. Semua orang terpandang ini sering pula disederhanakan dengan istilah orang patut. Disebut demikian, karena mereka dipandang patut atau layak dalam bidang kehidupan yang dipimpinnya.

Meskipun kita melihat ada perbedaan antara Melayu tua dengan Melayu muda, kedua keturunan puak Melayu ini masih mempunyai persamaan kultural. Orang Melayu itu akan selalu menampilkan budaya perairan (maritim). Mereka adalah manusia perairan, bukan manusia pegunungan. Mereka menyukai air, laut, dan suka mendiami daerah aliran sungai, tebing pantai dan rimba belantara yang banyak dilalui oleh sungai-sungai. Sebab itu budaya mereka selalu berkaitan dengan air dan laut, seperti sampan, rakit, perahu, jalur, titian, berenang, dan bermacam perkakas penangkap ikan seperti kail, lukah, hingga jala.

***

Posting Komentar

0 Komentar