Lidi Kejujuran

Lidi Kejujuran

Pada akhir 1997, aku menyelesaikan tugas mengajar di Bagansiapiapi. Sebenarnya masih 7 bulan lagi pengabdianku, namun karena kasus dengan Pimpinan Pesantren, membuatku cepat2 hengkang dari sana. Kemudian aku menetap dan menyelesaikan tugas pengabdian mengajar di SD kampungku, Tebing Tinggi Okura. Selain itu, aku juga mengajar di MDA (Madrasah Diniyah Awaliyah); juga mengajar anak-anak sekitar rumah dalam mendalami tajwid. Dari sinilah kisah bermula.

Ketika sedang menyimak kaji seorang murid, tiba-tiba tercium bau (maaf) kentut telur. Aku dan semua anak-anak yg mengaji mencium bau itu. Mereka mulai saling tuduh hingga suasana ribut dan sulit aku tenangkan. Namun ketika suasana sudah mulai agak tenang, tercium lagi bau yg kedua. Waduh, suasana jadi makin ribut saja jadinya.

Sebenarnya aku mencurigai satu anak, sebut saja Ujang; karena dia memang nakal dan agak lemah menangkap pelajaran. Namun dia tak mengaku kalau dia yg kentut. Lagi pula susah membuktikan siapa yg kentut, kan. Tak mungkin memeriksa ***** mereka satu-persatu.

Dalam suasana ribut begitu, tiba-tiba terlintas cerita yg pernah aku baca tentang seorang guru yg kewalahan karena siswanya selalu kecurian di dalam kelas. Berbekal cerita itu, aku pun mulai mengambil tindakan. Aku berdiri dan mengangkat suara dengan oktav tingkat 5, lalu menyuruh mereka semua keluar mengambil wudhu di sumur belakang rumah.

Mak-ku yg melihat kejadian itu, segera kasih saran, "Ambilkan mereka airnya. Nanti kalau mereka terpeleset atau malah jatuh ke sumur, kan sia-sia". Saran Mak pun aku ikuti.

Ketika mereka mulai ambil wudhu, aku pun mecari lidi dan memotongnya sama panjang agak sejengkal, sebanyak jumlah anak-anak yg mengaji. Setelah itu, aku pun menunggu di depan pintu. Setiap anak-anak yg masuk, aku salami sambil mulutku komat-kamit; sebenarnya tidak membaca apa-apa. Kemudian aku kasih lidi sebatang. Setelah semua anak masuk, aku pun duduk kembali.

Lalu aku berkata, "Lidi yang kalian pegang, akan menjadi saksi terhadap kelakuan kalian hari ini. Siapa yang kentut tadi, lidinya akan memanjang sendiri agak 1 cm. Jadi, siapa yang lidinya lebih panjang, dia lah yg kentut tadi". Setelah itu, kegiatan mengaji pun dilanjutkan.

Setelah semua anak mendapat giliran, aku pun memeriksa lidi mereka. Anak-anak yang tidak aku curigai, aku panggil untuk menyerahkan lidi lalu mempersilahkannya pulang. Ketika yang tinggal hanya Ujang, ternyata semua lidi masih sama panjang. Aku juga sempat kuatir, jangan-jangan upayaku ini tidak berhasil.

Akhirnya kupanggil Ujang. Dia pun datang menyerahkan lidinya... dan HUP... ternyata memang dia pelakunya. Kembali aku tanyakan apakah dia (maaf sekali lagi) kentut, dia masih tak mau mengaku. Sampai aku membuktikan dengan lidinya, barulah dia mengaku dan menangis malu.

Kenapa? Apakah lidinya memanjang? Tidak. Lidi yang dipegang Ujang masih sama dengan lidi anak-anak yang lain. Hanya saja, Ujang telah memotong ujung lidinya agak 1 cm.

***

Posting Komentar

0 Komentar